Cabai Merah
Cabai atau cabai merah atau chili adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan. Bagi seni masakan Padang, cabai bahkan dianggap sebagai "bahan makanan pokok" ke sepuluh (alih-alih sembilan). Sangat sulit bagi masakan Padang dibuat tanpa cabai.
Cabai merah Besar (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu
jenis sayuran yang memilki nilai ekonomi yang tinggi. Cabai mengandung
berbagai macam senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia. [1].
Sun et al. (2007) melaporkan cabai mengandung antioksidan yang
berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan
terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung
Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat antikanker (Kilham
2006; Bano & Sivaramakrishnan 1980).
Cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang
banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena memiliki harga jual
yang tinggi [2]
dan memiliki beberapa manfaat kesehatan yang salah satunya adalah zat
capsaicin yang berfungsi dalam mengendalikan penyakit kanker. Selain itu
kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi
kebutuhan harian setiap orang, namun harus dikonsumsi secukupnya untuk
menghindari nyeri lambung.
Cara penanaman
Cabai atau lombok termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri capsaicin,
yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas bila
digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai dapat ditanam dengan
mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus
membelinya di pasar.
Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah
yang kaya humus, gembur dan sarang, serta tidak tergenang air; pH tanah
yang ideal sekitar 5-6. Waktu tanam yang baik untuk lahan kering adalah
pada akhir musim hujan (Maret-April). Untuk memperoleh harga cabai yang
tinggi, bisa juga dilakukan pada bulan Oktober dan panen pada bulan
Desember, walaupun ada risiko kegagalan. Tanaman cabai diperbanyak
melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama
dan penyakit. Buah cabai yang telah diseleksi untuk bibit dijemur hingga
kering. Kalau panasnya cukup dalam lima hari telah kering kemudian baru
diambil bijinya: Untuk areal satu hektar dibutuhkan sekitar 2-3 kg buah cabai (300-500 gr biji).
Permasalahan produksi
Salah satu kendala utama dalam sistem produksi cabai di Indonesia adalah adanya serangan lalat buah pada buah cabai. Hama ini sering menyebabkan gagal panen[3].
Laporan Departemen Pertanian RI tahun 2006 menunjukkan bahwa kerusakan
pada tanaman cabai di Indonesia dapat mencapai 35%. Buah cabai yang
terserang sering tampak sehat dan utuh dari luar tetapi bila dilihat di
dalamnya membusuk dan mengandung larva lalat. Penyebabnya terutama adalah lalat buah Bactrocera carambolae. Karena gejala awalnya yang tak tampak jelas, sementara hama ini sebarannya masih terbatas di Indonesia, lalat buah menjadi hama karantina yang ditakuti sehingga dapat menjadi penghambat ekspor buah-buahan maupun pada produksi cabai.
Selain lalat buah, Kutudaun Myzus persicae (Hemiptera:
Aphididae) merupakan salah satu hama penting pada budidaya cabai karena
dapat menyebabkan kerusakan hingga 80%. Upaya pengendaliannya dapat
menggunakan insektida nabati ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga. [4]
Upaya penanggulangan hama
Sebenarnya sudah dilakukan upaya untuk mengendalikan serangan lalat buah
ini, di antaranya adalah pembrongsongan yang dapat mencegah serangan
lalat buah. Akan tetapi, cara ini tidak praktis untuk dilakukan pada
tanaman cabai dalam areal yang luas. Sementara penggunaan insektisida
selain mencemari lingkungan juga sangat berbahaya bagi konsumen
buah. Oleh karena itu, diperlukan cara pengendalian yang ramah
lingkungan dan cocok untuk diterapkan di areal luas seperti di lahan
sentral produksi cabai. Upaya pengendalian lalat buah pada tanaman
cabai, khususnya cabai merah, adalah penggunaan insektisida sintetik
karena dianggap praktis, mudah didapat, dan menunjukkan efek yang cepat.
Selain insektisida sintetik, insektisida nabati seperti kacang babi Tephrosia vogelii, jeruk purut Citrus hystrix, serai wangi Cymbopogon citratus efektif sebagai penolak lalat buah.[5]
Adiyoga dan Soetiarso (1999) melaporkan 80% petani sayuran
menggunakan pestisida untuk mengendalikan penyakit tanaman. Akan tetapi
penggunaan insektisida tersebut sering meninggalkan residu yang berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia (Duriat 1996). Di samping harga insektisida sintetik yang mahal, dampak dari adanya residu insektisida sintetik dalam bidang ekonomi adalah penolakan ekspor oleh banyak negara tujuan ekspor atas produk-produk cabai yang mengandung residu fungisida dan pestisida
lain (Caswell & Modjusca 1996). Di antara insektisida yang banyak
digunakan dalam pengendalian serangan lalat buah pada cabai adalah
Diazinon, Dursban, Supracide, Tamaron dengan konsentrasi 3-5%, dan
Agrothion (Pracaya 1991).