Sistem Penanggalan Musim Masyarakat Jawa
Pranoto mongso adalah sistem penanggalan musim yang digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menentukan waktu beraktivitas, seperti bercocok tanam atau melaut. Pranoto mongso dikaitkan dengan peredaran matahari, gejala alam, dan perilaku hewan.
Kata pranoto mongso berasal dari dua kata, yaitu pranata yang berarti aturan dan mangsa yang berarti musim. Pranoto mongso dipelopori oleh Raja Pakubuwono VII dan diterapkan mulai 22 Juni 1856.
Dalam pranoto mongso, setahun dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim kecil. Empat musim utama tersebut adalah: Musim hujan (rendheng), Pancaroba akhir musim (mareng), Musim kemarau, Pancaroba menjelang hujan (labuh).
Selain digunakan oleh petani dan nelayan, pranoto mongso juga menjadi pedoman bagi masyarakat Sunda (pranata mangsa) dan Bali (kerta masa).
Pranoto Mongso atau dikenal(𝘮𝘰𝘯𝘨𝘴𝘰)/aturan waktu musim / ilmu pemahaman cuaca.
Biasanya digunakan oleh para petani (𝘣𝘦𝘳𝘤𝘰𝘤𝘰𝘬 𝘵𝘢𝘯𝘢𝘮) dan nelayan (𝘮𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘬𝘢𝘯). Pranoto Mongso adalah pembagian musim dalam satu tahun yang disusun berdasarkan sifat-sifat dan siklus perubahan iklim di suatu wilayah dengan menggunakan metode ‘𝒊𝒍𝒎𝒖 𝒕𝒊𝒕𝒆𝒏’.(𝘤𝘰𝘤𝘰𝘬𝘰𝘭𝘰𝘨𝘪) 



Yang dimaksud dengan Ilmu Titen adalah ilmu yang diperoleh dari pengamatan fenomena alam dalam kurun waktu lama, sehingga hasilnya cukup akurat.
Dari mulai tanaman berkembang dan sebagian mulai berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, cenggeret mulai bersuara. Penampakannya ibarat; 𝑊𝑒𝑑𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑤𝑎𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑚𝑢𝑙𝑦𝑎 (binatang tanah dan pohon mulai bersuara).
Dimasa nya, Ilmu 𝘗𝘳𝘢𝘯𝘰𝘵𝘰 𝘔𝘰𝘯𝘨𝘴𝘰 amat penting karena petani bisa menghindari musim penetasan hama dan lainnya. Begitu banyak manfaat yang bisa dipetik oleh masyarakat petani dengan memanfaatkan serta melestarikan budaya ilmu bercocok tanam dengan melakukan apa yang telah dilakukan leluhur tersebut secara turun temurun.
Kemajuan teknologi memang terjadi di berbagai bidang, termasuk di dunia pertanian. Sektor pertanian sangat menggiurkan bagi pebisnis. Sehingga kini banyak orang yang mengembangkan pertanian dengan pestisida atau bahan kimia lainnya untuk menggenjot produksi.
Apapun dilakukan tanpa mengindahkan kerusakan alam. Sungguh memprihatinkan dan kondisi ini terus berlangsung. Hutan-hutan semakin berkurang, mata air turut berkurang bahkan banyak yang kering, kualitas air juga makin buruk, alam pun semakin tidak bersahabat padahal itu karena ulah manusia itu sendiri yang telah menuai hukum alam semesta dan sebab akibat.
Karena itu, ilmu warisan leluhur itu menjadi terlupakan. Padahal sudah teruji ribuan tahun dan sangat dirasa manfaatnya, yang tidak bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja.
Pranoto Mongso juga mulai ditinggalkan beberapa tahun belakangan ini, karena keadaan cuaca dan iklim yang sangat tak menentu dan sulit sekali diprediksi.
Sungguh amat disayangkan pada apa yang telah terjadi, dampak perubahan iklim memang sedang terjadi di seluruh bagian dunia ini akibat suhu bumi meningkat, yang menjadi ancaman utama terhadap keberlangsungan kehidupan dan ekosistem di dunia ini, bukan lagi hanya di Indonesia.
Semua ini terjadi tak lepas akibat ulah para manusia itu sendiri yang tidak bertanggung jawab akan lingkungannya, penebangan hutan besar-besaran yang merupakan paru-paru dunia, yang kemudian berdampak global terhadap perubahan iklim.
Dan mari mengubah paradigma bahwa lingkungan dan alam semesta ini adalah sebagai objek dari manusia. Karena jelas pada hakikatnya; manusia, lingkungan dan alam semesta ini merupakan satu kesatuan (yang tak bisa terpisahkan atau berdiri sendiri masing – masing).